Kepribadian seseorang bisa dibaca lewat sepatu yang ia kenakan, begitu kata psikolog, seperti tercatat dalam Journal of Research in Personality terbitan Agustus tahun ini. Menurut para psikolog di University of Kansas, sepatu bisa menunjukkan usia, jenis kelamin, penghasilan, afiliiasi politik, emosi, dan ciri kepribadian penting lainnya.
Pemimpin penelitian ini, Omri Gillath menemukan, dengan melihat gaya, harga, warna, dan kondisi sepatu, para partisipan studi ini berhasil menebak sekitar 90 persen karakteristik pemilik sepatu-sepatu yang dijadikan obyek penelitian. Studi yang dipublikasikan secara online itu mengajak sekitar 63 orang mahasiswa (partisipan) yang diminta melihat 208 pasang sepatu dari relawan dengan kepribadian berbeda-beda.
Para partisipan diminta untuk menebak jenis kelamin, usia, status sosial, dan ciri kepribadian lain dari pemilik sepatu-sepatu tadi. Periset menemukan, para partisipan berhasil menebak karakteristik para relawan hampir di semua kategori, dan menyimpulkan, ciri dan jenis sepatu memang bisa menunjukkan kepribadian, baik disengaja maupun tidak.
Sepatu-sepatu yang mahal datang dari orang dengan berpenghasilan tinggi. Sepatu yang menarik perhatian dan berwarna terang adalah milik orang yang cenderung ekstrover. Sepatu yang tidak baru tetapi tidak kotor adalah milik orang yang teliti.
Ada beberapa petunjuk yang terbaca dari sepatu yang memang sudah jelas, namun, ada beberapa petunjuk yang cukup mengejutkan. Sepatu yang cenderung praktis dan fungsional biasanya dimiliki oleh orang yang cenderung mudah setuju. Sepatu boot semata kaki biasanya dikenakan oleh orang yang berkepribadian agresif. Sementara sepatu yang tampaknya tak nyaman dikenakan, justru menunjukkan si pemakainya punya kepribadian yang tenang.
Dalam dunia psikologi, kestabilan emosi adalah terminologi yang memayungi beberapa hal dalam diri seseorang, termasuk rasa takut ditinggal, penolakan, dan kemampuan untuk menghadapi beragam jenis hubungan. Orang-orang yang bermasalah dalam hubungan, atau orang yang selalu mengkhawatirkan hubungannya, umumnya memiliki sepatu yang selalu baru dan terawat. Diperkirakan, hal ini terjadi karena si pemilik sangat khawatir akan penampilannya dan selalu memikirkan penilaian orang tentang dirinya. Kebalikannya, pemikir liberal, yang bergaya bebas, cenderung mengenakan sandal jepit, sepatu yang sudah tak lagi berbentuk aslinya, dan cenderung murah.
"Sepatu mampu memberikan informasi tentang kepribadian pemakainya, meski sangat sedikit, tetapi cukup berguna. Sepatu juga memiliki tujuan praktis, sserta memberi petunjuk nonverbal dengan pesan-pesan simbolis. Kebanyakan orang cenderung memerhatikan sepatu yang akan ia pakai serta sepatu yang dipakai orang lain," begitu dikatakan dalam penelitian itu. Namun, para peneliti juga mencatat, kebanyakan partisipan kesulitan menilai kepribadian pemilik sepatu yang modelnya membosankan. Si pemakai sepatu yang modelnya membosankan menilai dirinya sendiri sebagai orang yang represif dan sulit menciptakan hubungan.
"Sepatu memiliki begitu banyak model, merek, gaya, dan fungsi. Karena variasi-variasi inilah sepatu bisa menunjukkan informasi karakter si pemakai," simpul para peneliti. Para psikolog mencatat, sangat jarang untuk seseorang dengan sengaja memilih sepatu yang berbeda dari kepribadiannya sendiri demi dipandang berbeda oleh orang lain.