Perjuangan Raden Ajeng Kartini dilandasi oleh keinginan kuat agar wanita pribumi memiliki pikiran maju layaknya wanita eropa kala itu. Karena pada masa itu kedudukan wanita pribumi ada pada tingkatan status sosial yang sangat rendah dibandingkan kaum laki-laki terutama dalam hal pendidikan. Bahkan beliau sendiri hanya di izinkan sekolah sampai pada tingkat ELS (Europeesche Lagere School) pada masa Belanda atau setingkat SD (sekolah Dasar) sekarang.
Kartini Dalam Masa Pingitan
Pada usianya yang masih 12 tahun Kartini sudah harus di pingit oleh keluarganya untuk menunggu jodoh kemudian dinikahkan dengan pria pilihan keluarga. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa atas ketentuan dan tradisi yang berlaku saat itu. Meski perasaan sedih menyelimuti hari-harinya, namun ia tidak bisa berbuat banyak selain harus ikhlas menerima hal itu sebagai tanda bakti pada keluarga dan mengikuti aturan yang berlaku pada masa itu.
Menghadapi kenyataan itu tak membuat kartini kecil larut dalam kesedihan bahkan kesendiriannya yang hanya bertemankan sepi justru membuat dirinya tertantang untuk tumbuh sebagai seorang wanita yang lebih maju, meski pendidikan formal hanya setingkat SD tapi tak menyurutkan pikirannya untuk selalu belajar. Karena itu ia selalu menggunakan waktunya untuk membaca dan membaca bahkan baginya tiada hari tanpa membaca.
Dari kegemarannya membaca itulah, akhirnya kartini memiliki banyak pengetahuan dan wawasan, kemudian di hatinya timbul rasa kagum terhadap pola pikir maju wanita-wanita eropa pada saat itu. Dari sana pula mulai tumbuh keinginan kuat untuk memperjuangkan kaum wanita pribumi agar bisa memiliki kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki terutama dalam hal pendidikan sehingga bisa berpikir lebih maju seperti wanita eropa.
Kartini yang memang sudah menguasai bahasa dengan baik tidak ada kendala untuk mengembangkan pengetahuannya dari berbagai buku dan majalah yang ia kumpulkan, baik buku terbitan lokal maupun buku atau majalah dari eropa pun bisa ia pelajari dengan baik dan teliti.
Silsilah Keturunan Keluarga R.A Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah putri dari seorang Bupati bernama R. Adipati Ario Sosroningrat yang berkedudukan di Jepara sedangkan Ibunya bernama M.A Ngasirah adalah putri dari KH. Madirono dan Ny Hj Siti Aminah seorang guru ngaji. M.A Ngasirah (Ibunda RA. Kartini) adalah istri pertama dari sang Bupati (Ayahnya) meski tidak tercatat sebagai istri utama dalam silsilah kebangsawanan.
Sebelum menjadi bupati Jepara, Sosroningrat menjabat sebagai wedana di Mayong sebuah wilayah administrasi dibawah kekuasaan bupati dan diatas kecamatan di Jawa Tengah. Bagi seseorang yang akan diangkat Bupati menurut aturan yang berlaku pada pemerintahan Hindia Belanda waktu itu harus memiliki istri dari keturunan bangsawan
Ayah R.A Kartini - R.Mas Sosroningrat |
Raden Ajeng Kartini Menikah
Sejak dipingit dan tidak boleh keluar rumah, Kartini menghabiskan waktunya dengan membaca sampai akhirnya ia tumbuh sebagai sosok wanita yang memiliki pengetahuan dan wawasan . Kemudian dihatinya ada keinginan untuk memperjuangkan kaum wanita pribumi, bisa membaca dan menulis, berwawasan luas serta memiliki pola pikir maju layaknya wanita eropa saat itu.
Untuk mewujudkan keinginannya memperjuangkan hak-hak kaum wanita agar bisa mendapatkan pendidikan layaknya kaum laki-laki, kemudian ia mengumpulkan teman-temannya, kerabat, tetangga untuk diajarkan membaca dan menulis. Aktivitasnya mengajar sesama kaum wanita tak membuatnya berhenti untuk terus belajar dan membaca.
RA. Kartini Bersama Suami |
Keinginannya Kartini untuk memperjuangkan hak-hak wanita pribumi kala itu tak hanya sebatas agar wanita bisa baca dan menulis, tapi pada kerangka yang lebih luas termasuk dalam masalah sosial seperti memperoleh kebebasan dan otonomi serta perlakuan sama dalam hukum. Hal itu dapat dilihat dari catatan-catatan dari buku yang ia baca.
Suatu ketika ia juga pernah menulis surat pada teman korespondensinya dan menyampaikan keinginannya untuk belajar di eropa, banyak teman-teman penanya yang mendukung hal tersebut meski pada akhirnya keinginan itu tidak pernah terwujud karena ia harus menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
Pada tahun 12 November 1903, Raden Ajeng Kartini yang saat itu berusia 24 tahun akhirnya memilih menikah sesuai keinginan orang tuanya, dengan laki-laki bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo seorang bupati rembang yang sebelumnya pernah beristri tiga kali.
Sang suami yang memahami keinginan kartini untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita agar mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki khususnya dalam hal pendidikan, mendapat dukungan dari sang suami kemudian mendirikan lembaga pendidikan (sekolah) khusus untuk wanita yang saat ini menjadi gedung pramuka pada bagian timur komplek kabupaten Rambang
Dari perkawinannya itu Kartini memiliki satu putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tgl 19 September 1904. Belum menikmati hari-harinya bersama sang buah hati, beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya dan juga yang terakhir, tepatnya pada 17 september 1904 Kartini meninggal dunia dan kemudian dimakamkan di Rembang Desa Bulu pada usianya yang ke-25 tahun atau satu tahun setelah ia menikah.
Awal Dan Akhir Perjuangan R.A Kartini
Sejak menuinggal pada usianya yang relatif muda dalam usia 25th, tidak berarti perjuangan Kartini telah berakhir, bahkan nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan terhadap orang-orang sekitarnya yang dilalui dengan keteguhan hati dan pantang menyerah telah menumbuhkan semangat orang-orang yang bersimpati terhadap dirinya.
Meski Kartini telah tiada namun gagasannya untuk memperjuangan hak-hak wanita pribumi, mendapat perhatian banyak kalangan termasuk suaminya yang waktu itu mendukungnya untuk mendirikan sekolah khusus bagi wanita. Namun semuanya berakhir sepeninggal Kartini.
Gedung Sekolah Kartini |
Pemikiran Kartini yang terbilang maju dibandingkan wanita-wanita sekelasnya waktu itu, akhirnya mendapat perhatian dari Conrad Theodore van Deventer, seorang ahli hukum Belanda yang juga politik etis (politik balas budi) dimana pemikirannya sebagai sebuah kritik terhadap sistem pemerintahan kolonial Belanda yang mengabaikan kesejahteraan bangsa pribumi (terjajah) Indonesia waktu itu
Van Deventer yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat terjajah, merasa terkesan dengan surat-surat yang ditulis Kartini, baik pemikiran kartini dalam hal menuntut kesamaan hak bagi kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan, maupun perhatian nya dalam masalah sosial, Akhirnya pada th 1911 Van Deventer menerbitkan gagasan dan cita-cita Kartini untuk disebar luaskan, karena dinilai sesuai dengan gagasan van Deventer sendiri.
Sejak saat itu tepatnya pada tahun 1913, istri Van Deventer berinisitif mendidirikan Yayasan Kartini dibantu suaminya dan mendirikan sekolah yang dikhususkan bagi kaum wanita pribumi dengan nama ' Sekolah Kartini'. sampai pada akhirnya sekolah kartini memiliki ribuan murid yang semuanya dari kalangan wanita pribumi.
R.A Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi sekaligus polopor bangkitnya wanita pribumi yang pantang menyerah, sehingga pemikiran dan gagasannya yang berisi nilai-nilai perjuangan tinggi mampu menginspirasi banyak orang, termasuk generasi muda saat ini, semoga!