Ceritanya, waktu itu gue lagi menikmati hidangan disebuah rumah makan. Di sebuah rumah makan yang nggak gede-gede amat tapi dihuni oleh mbak-mbak cantik, itulah yang bikin gue mau mengunjungi rumah makan itu. Makanannya juga enak banget, dan yang paling penting harganya yang murah. Letak rumah makannya juga strategis, tepat didepan sekolahan. Jadi, selain melihat mbak-mbak yang cantik, gue juga bisa melihat remaja-remaja yang cantik dan berkeringat dengan seksinya.
"Lo mau cerita apaan, sih?"
Gue nggak lagi nyeritain tentang rumah makan. Tapi disitulah letak latar ceritanya, apa boleh buat gue ceritain dulu tempat latarnya, biar ceritanya bisa hidup.
"Terserah lo dah!"
Oke, di rumah makan itu gue nemuin cerita yang menarik untuk diceritakan. Ada seorang tunawisma yang minta-minta di rumah makan itu. Lalu, salah seorang mbak-mbak kasir mengatakan kalau disini nggak nerima sumbangan dalam bentuk apapun atau sejenisnya, apalagi minta-minta. Tunawisma itupun protes kenapa kata-kata itu nggak dipajang aja sekalian didepan pintu rumah makan itu. Mbak yang cantik itupun menjawab dengan nada kesal dan mengusir tunawisma tersebut.
Nggak sampai disitu, mbak kasir itupun menceritakan ke teman-temannya yang memang kepo soal kejadian barusan di rumah makan tersebut. Dalam hati gue, ini mbak cantik-cantik tapi ngeselin. Paling ngeselinnya ada satu kutipan kata yang paling gue inget dari mulut mbak itu..katanya "Kenapa musti dikasih, walau dikasih pun tunawisma itu nggak ngasih dampak untung buat rumah makan ini.." Memang, sih, ada peraturan tentang pemberian uang kepada tunawisma.
Tapi, gue jadi teringat tunawisma yang pernah datang ke rumah gue. Iya, beliau mendoakan gue ini itu ketika habis gue kasih duitnya. Nggak main-main, tunawisma yang mampir kerumah gue itupun membacakan doanya dalam bentuk bahasa arab. Kayak tiba-tiba dengerin imam sholat lagi berdoa. Bagi gue, itu adalah imbalan yang diberikan tunawisma. Walau tetap aja dianggap sebagai orang yang malas nyari kerjaan.
Abis makan, gue langsung mampir ke tempat kasir untuk bayar. Trus mbak kasir itu mengeluh dan nanyain gue ada duit kecil atau nggak. Ya, kalau ada duit kecil, pasti gue nggak bayar pakek duit lembar 50 rebu, logikanya gitu. Dengan nada resah dan kesal mbak itupun memulai usaha nyari duit kecil ke teman-temannya dan warung depan. Akhirnya duit itu bisa didapatkan walau gue harus nunggu sekitar 10 menitan. Mbak itu ngos-ngosan dan minum air putih dengan liarnya. Gue cuma ketawa dalam hati melihat itu.
Iya, gue tersenyum bisa memberi cobaan ke mbak kasir itu apa yang dirasakan oleh tunawisma yang dibentaknya tadi. Padahal gue nggak ada rencana melakukan hal itu dan benar-benar nggak sengaja. Nggak kepikiran aja dimulai dari duit 50 ribu gue.
Melangkah keluar dari rumah makan dan mulai menikmati jalanan pulang pakai motor, gue kepikiran atas cerita tadi. Gue kepikiran seberapa pentingnya timbal balik. Hal yang nyebelin adalah ketika lo mengharap imbalan tapi lo nggak mulai kerja keras. Ibaratnya gini, lo orang yang berbakat dalam suatu bidang apapun, tapi lo berharap ingin terkenal. Okelah, lo udah kerja keras untuk mengasah bakat lo, tapi lo nggak kerja keras gimana bakat lo itu dikenal orang. Disuruh bikin blog untuk majangin karya lo aja males.
"Emang ada orang yang kayak gitu?"
Jawabannya, ada. Temen gue salah satunya, doi adalah seorang fotografer. Gue kagum dengan hasil karya-karyanya. Foto-fotonya ajib bener, gue mikir kalau dia cocok jadi fotografer artis. Sayangnya, karyanya hanya dipampang pada album foto dan folder laptop. Gue tanyain kenapa nggak bikin blog aja biar bisa ditunjukkan ke orang-orang? katanya cuma sekedar hobi dan nggak perlu dibikin pakek website dan apalah segalanya.
Gue pikir, nih orang bakatnya terasah tapi nggak mau jadi professional. Dan katanya juga, nggak perlu berharap dengan sesuatu apalagi sampai ke berbau mewah dan kaya. Gue cuma bisa mengangguk dan bilang dalam hati kalau argument dia itu sangat disayangkan.
Selain temen gue yang fotografer, juga ada yang punya bakat ngegambar. dan tujuan gue sama untuk nyaranin dia agar majangin karyanya dia. Jawabannya, sama aja. Kesimpulannya, ternyata nggak semua orang punya bakat canggih akan merasa percaya diri dengan apa yang dia hasilkan.
"Trus, lo sendiri ngapain sibuk ngurusin orang yang kayak gitu?"
Ntah kenapa ya, gue itu orangnya suka banget memberi dorongan ke orang-orang, ya walaupun bagi orang yang didorong ngeliat gue itu lebay atau apalah. Ibarat gue lagi ngeliat makanan lezat, ya sayang aja kalau nggak dimakan *ngeles*. Sayang aja sih, kalau ada orang disekitar yang punya keunggulan dibidang tertentu malah nggak mau menuju tingkat profesionalitas.
Lebih disayangkan kalau orang itu nggak punya mimpi untuk bahagia di bakatnya dan lebih memilih untuk menjalani hidup dengan ngomong "Rezeki itu bakal datang sendiri, dan belum tentu kita akan dapat rezeki di bakat kita.."...
Bagi gue, berharap imbalan itu penting. Setidaknya kita bisa menunjukkan dan terus belajar untuk menggapai yang diharapkan itu. Sama seperti tunawisma, dia berharap dapat makan dalam sehari walau disekelilingnya banyak orang dan peraturan yang tidak menyenanginya. Begitulah, jangan sampai harapan itu hilang ketika lo dikelilingi oleh orang yang benci sama karya lo dsb. Apalagi kalau pasrah duluan dan belum mencoba, keterlaluan. hehehehe.
Pertanyaannya: ada nggak sih orang-orang terdekat/disekitar lo yang punya bakat tapi mengalami kendala ketidakadanya harapan dengan bakatnya itu? Jawabannya di kotak komentar ya!
Sumber Gambar Imbalan By ciricara.com
Sumber Gambar Imbalan By ciricara.com