-->
Home
artikel-indonesia
BAHASA INDONESIA TERANCAM PUNAH DI NEGERI SENDIRI (Artikel "Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia" Oleh: Wieke Gur)
BAHASA INDONESIA TERANCAM PUNAH DI NEGERI SENDIRI (Artikel "Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia" Oleh: Wieke Gur)
“Aunt Nina, I want to cut my hair, tapi mom bisa very very angry cause she likes my hair panjang”.
Terselipnya kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia di kalangan anak-anak kini bisa kita dengar dimana-mana. Hal ini bisa dipahami karena jumlah sekolah Internasional di Indonesia terutama di Jakarta kini semakin banyak. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan kurikulum dari luar negeri dan bahasa pengantar sehari-hari yang dipakai adalah bahasa asing. Dan sekolah-sekolah tersebut bukan lagi monopoli orang asing. Orang tua pun kini merasa bangga jika anak-anak mereka sudah mulai menyelipkan kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapannya sejak dini.
Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak-anak. Kalau kita menonton acara wawancara resmi, dialog atau perdebatan politik dan ekonomi di televisi jarang sekali kita temukan satu wawancara atau dialog dimana baik yang melakukan wawancara maupun yang diwawancarai menggunakan seratus persen bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka tampak kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya. Selalu saja ada kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing yang diselipkan di sela-sela bahasa Indonesia. Demikian juga jika kita membaca laporan wawancara di koran atau majalah. Selalu ada kata-kata yang ditulis miring dalam kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kata yang ducapkan tersebut merupakan ungkapan asing.
Apakah masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat dwibahasawan? Seperti di Belgia yang menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia? Atau di Montreal Kanada, dimana bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya.? Rasanya tidak tepat menyimpulkan demikian. Karena yang terjadi saat ini adalah situasi dimana banyak masyarakat yang berbahasa Inggris tidak, berbahasa Indonesia pun tidak.
Fenomena lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa para lulusan luar negeri umumnya lebih fasih berbahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kini timbul gejala di masyarakat dimana mereka merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia. Banyak yang merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna. Tidak sedikit yang menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik atau menganggap bahasa Indonesia tidak penting.
Bahasa Indonesia memang bukan bahasa ibu karena kita semua baru mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk sekolah. Bahasa ibu kita adalah bahasa informal daerah tempat kita dibesarkan. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia formal tetapi bahasa ibu, bahasa informal yang tidak memiliki aturan yang baku. Setiap orang bebas mencampur adukkan istilah. Dalam bahasa informal hal ini sah-sah saja.
Sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diglosik. Yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Terdapat perbedaan yang sangat tajam di masyarakat antara bahasa formal dengan bahasa informal. Kedua jenis bahasa tersebut digunakan pada situasi dan konteks yang juga berbeda.
Menurut peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas saat ini Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Sebuah kekayaaan yang tidak ternilai. Namun kekayaan bahasa yang kita miliki ini juga berpotensi menjadi sebuah kelemahan yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.
Di awal abad ke20 para pejuang kemerdekaan Indonesia sudah menyadari pentingnya kebutuhan satu bahasa nasional yang mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia jika negera ini ingin merdeka dari penjajahan Belanda. Dengan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda tersebut bersumpah satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sebagai bahasa yang dipilih menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang lahir karena suatu keputusan dan perencanaan. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia pun resmi menjadi bahasa nasional dalam arti yang sesungguhnya. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pemerintahan dan administrasi yang digunakan di dalam situasi formal seperti pidato, penulisan serta bahasa di media masa resmi seperti televisi, radio, koran dan majalah serta buku-buku. Bahasa formal juga bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta acara-acara resmi lainnya. Teks proklamasi kemerdekaan adalah dokumen resmi pemerintah pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dalam proses perkembangannya bahasa Indonesia berkembang menjadi tombak kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Sebuah proses yang menakjubkan dan dikagumi oleh banyak ahli bahasa di seluruh dunia. Bayangkan, rakyat suatu negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh puluh suku dengan bahasanya yang berbeda beda berhasil digiring untuk menerima satu bahasa di luar bahasa daerah mereka sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa nasional. Tanpa konflik dan tanpa perdebatan.
Sejak jaman sebelum kemerdekaan, berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa persatuan Indonesia telah dilakukan. Mulai dari perubahan ejaan, pengembangan peristilahan, penyusunan kamus besar bahasa Indonesia, hingga perumusan tata bahasa agar dicapai suatu bahasa yang standar yang dapat menjadi patokan seluruh jajaran masyarakat. Penelitian bahasa dan seminar serta kampanye penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat pers, media televisi dan sekolah-sekolah terus dilakukan.
Semua pihak, setiap bidang dan setiap profesi bahu membahu memelihara bahasa Indonesia. Simak saja lagu anak-anak ‘Naik Delman’ yang diciptakan pak Kasur sebelum pembukaan Ganefo tahun 1962.
Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota.
Naik delman istimewa kududuk di muka
Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak … suara sepatu kuda.
Bagi generasi yang lahir di tahun 50-an hingga 70-an, lagu ciptaan pak Kasur di atas adalah lagu yang sangat kental dengan masa kanak-kanak. Hingga kini, dimana sebagian besar sudah memasuki masa pensiun, lagu itu tidak pernah luntur dari ingatan. Perhatikanlah struktur dan tata bahasa serta kosa kata yang digunaan dalam syair lagu tersebut. Tanpa disadari sejak kecil generasi ini sudah diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar lewat lagu.
Di dalam pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada tahun 1972 almarhum Presiden Soeharto bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab nasional karena bahasa yang baik berkaitan erat dengan pembangunan bangsa. Himbauan ini diulang setiap tahun di dalam setiap pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara. Pemerintahan di era Suharto memang sangat gencar mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Media masa seperti televisi, radio, majalah dan koran diwajibkan menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Gedung – gedung dan perkantoran di Jakarta yang masih memakai nama yang berbau asing mendapat surat edaran keras dari pemerintah DKI Jaya agar segera membuang istilah yang tidak Indonesia itu. Dulu, seminggu sekali ada acara Pembinaan Bahasa Indonesia di televisi.
Kini keadaannya sudah berbeda. Jika kita mengitari pusat perbelanjaan atau deretan pertokoan Anda bisa lupa bahwa kita ada di Indonesia. Karena hampir tidak ada lagi gedung-gedung, toko-toko atau restoran-restoran yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama badan usahanya. Media cetak maupun eletronik semakin banyak yang berusaha meng-Inggris-kan rubrik-rubriknya. Semakin banyak pula perusahaan yang mulai beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat atau barang menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Era reformasi dan demokrasi seperti membebaskan semuanya. Tidak ada lagi anjuran penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan terjadinya pergeseran ranah penggunaan bahasa Indonesia oleh bahasa Inggris, bahasa informal pun mulai mendominasi media cetak dan eletronik. Pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa semakin langka.
Jadi, apakah yang terjadi dengan bahasa nasional kita? Kemana perginya bahasa Indonesia? Sudah begitu asingkah bahasa Indonesia di negeri sendiri? Betulkah bahwa bahasa Indonesia itu miskin kosa kata sehingga lebih mudah mengungkap sesuatu dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Padahal KBBI revisi ke-4 yang diluncurkan 2008 pada Kongres Bahasa Ke-9 pada 28 Oktober 2008 yang lalu memuat sekitar 100.000 lema (entry) atau bertambah 22.000 lema hasil serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Belum ada yang melakukan penelitian mengenai berapa persenkah rakyat Indonesia yang kini mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun seorang kawan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pernah menyatakan keprihatiannya ketika dia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membetulkan bahasa tulisan mahasiswa si pembuat skripsi daripada isi tulisan itu sendiri.
Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Pentingnya mempersatukan nusantara membuat Gajah Mada pernah bersumpah lewat Sumpah Palapa: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa“.
Sudah tidak ada lagikah kebanggaan kita pada bahasa Indonesia yang telah menyatukan kita semua? Sadarkah kita bahwa bahasa Indonesia juga adalah jati diri bangsa? Sudah lupakah kita pada Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda?
Kalau kita mau merenung sejenak, bahasa Indonesia itu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu melampaui kekuatan militer. Dengan bahasa Indonesia yang mahir bung Tomo mampu membakar semangat para pejuang nasionalisme pada tanggal 10 Nopember 1945. Bung Karno, yang menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik, mampu menyuarakan seruan hatinya dengan bahasa Indonesia lewat pidato-pidatonya yang membahana dan memukau. Amunisi kata-katanya begitu kaya dan dalam. Kemampuannya membangun struktur kalimat dalam setiap pidatonya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan tumbuhnya tunas semangat baru dalam hidupnya.
Di era pembangunan kita semua pun telah menjadi saksi bahwa bahasa mampu meredam gejolak ekonomi, mampu mengurangi sensitifitas sosial dan politik bahkan membalikkan sesuatu yang berkesan negatif menjadi positif.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak popular dapat kita hindari dengan menghaluskan ungkapan. Tentu kita semua masih ingat istilah “kenaikan harga” yang dihaluskan menjadi “penyesuaian harga” atau “gelandangan” yang memberikan konotasi merendahkan menjadi “tunawisma”. Padahal kita semua tahu bahwa harga barang tetap naik walaupun namanya diganti menjadi “penyesuaian harga”, dan seorang gelandangan tidak menjadi lebih kaya walaupun istilahnya diganti menjadi “tunawisma”. Mengapa pemerintah kini malah mengeluarkan kebijakan dalam bahasa Inggris seperti ‘sunset policy’?
Lihat saja Amerika. Dengan kemampuannya berbahasa negara adidaya tersebut mampu mengarahkan kepentingan politiknya. Kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya sehingga istilahnya berubah mejadi “violation of humanitarian law”. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Kesalahan tentara Amerika yang menembak kawan sendiri disebut “friendly fire” padahal yang sebenarnya terjadi adalah “negligent discharge”.
Bahasa Indonesia juga adalah bahasa yang mampu menjembatani jurang komunikasi antar suku yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda. Sarana utama yang mewujudkan dan memelihara Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah tidak perlu menterjemahkan setiap kebijakan menjadi bahasa daerah yang berlain-lainan. Para peneliti, wisatawan, politisi, pengusaha dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya tidak perlu mempelajari bahasa daerah jika mereka mengunjungi daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia.
Goenawan Mohamad pernah menulis, “Jika kita bepergian ke pelbagai pelosok Indonesia, satu hal menolong kita: bahasa Indonesia. Ini saya alami baru-baru ini. Seandainya saya di India, saya harus memakai sejumlah bahasa lokal. Seandainya saya di Amerika, saya harus mengerti bahasa Spanyol selain bahasa Inggris.”
Jika kita tidak ingin Bahasa Indonesia menjadi bahasa asing di negeri kita sendiri maka keberadaannya senantiasa harus dipelihara, perkembangannya harus dicermati. Pengubahsuaian kosa kata dan struktur bahasa asing yang terserap ke dalam penggunaan sehari hari harus terus dilakukan. Namun Lembaga Bahasa, para ahli bahasa dan pencinta bahasa tidak bisa bergerak sendirian dan tidak akan mampu berjuang sendirian. Memelihara bahasa nasional memerlukan keterlibatan dan keputusan pemerintah dan pemimpin negara.
Bahasa Indonesia adalah anugerah Tuhan yang pantang kita sia-siakan. Bahasa persatuan yang dirumuskan dengan teliti lewat perjuangan darah, keringat, dan nyawa delapan puluh satu tahun yang lalu adalah sebuah keajaiban yang mampu menyatukan bangsa tanpa kekuatan politik dan militer yang tidak mampu dilakukan oleh negara mana pun. Tengok saja Negara tetangga kita Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Melayu dan Tagalog tidak mampu mencapai status sebagai bahasa nasional seperti Bahasa Indonesia di Indonesia karena kuatnya pengaruh bahasa Inggris. Pada sensus tahun 2001, pemerintah India harus mencetak formulir ke dalam 17 bahasa lokal.
Layakkah jika sosok-sosok yang duduk di pemerintahan tidak mampu berbahasa Indonesia? Relakah kita jika kedudukan bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing seperti yang terjadi di Negara tetangga? Haruskah kita menunggu sampai UNESCO memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang diancam kepunahan? Pantaskah kita tersinggung jika suatu hari negara tetangga kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mereka jika kita sendiri tidak memeliharanya?
Mari kita kembalikan lagi semangat Sumpah Pemuda di antara kita sebelum anak cucu kita berkata dengan lafal dan aksen asing,”Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia … “.
Artikel ini dimuat di KOMPAS 22 Oktober 2009.
“Aunt Nina, I want to cut my hair, tapi mom bisa very very angry cause she likes my hair panjang”.
Terselipnya kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia di kalangan anak-anak kini bisa kita dengar dimana-mana. Hal ini bisa dipahami karena jumlah sekolah Internasional di Indonesia terutama di Jakarta kini semakin banyak. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan kurikulum dari luar negeri dan bahasa pengantar sehari-hari yang dipakai adalah bahasa asing. Dan sekolah-sekolah tersebut bukan lagi monopoli orang asing. Orang tua pun kini merasa bangga jika anak-anak mereka sudah mulai menyelipkan kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapannya sejak dini.
Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak-anak. Kalau kita menonton acara wawancara resmi, dialog atau perdebatan politik dan ekonomi di televisi jarang sekali kita temukan satu wawancara atau dialog dimana baik yang melakukan wawancara maupun yang diwawancarai menggunakan seratus persen bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka tampak kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya. Selalu saja ada kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing yang diselipkan di sela-sela bahasa Indonesia. Demikian juga jika kita membaca laporan wawancara di koran atau majalah. Selalu ada kata-kata yang ditulis miring dalam kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kata yang ducapkan tersebut merupakan ungkapan asing.
Apakah masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat dwibahasawan? Seperti di Belgia yang menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia? Atau di Montreal Kanada, dimana bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya.? Rasanya tidak tepat menyimpulkan demikian. Karena yang terjadi saat ini adalah situasi dimana banyak masyarakat yang berbahasa Inggris tidak, berbahasa Indonesia pun tidak.
Fenomena lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa para lulusan luar negeri umumnya lebih fasih berbahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kini timbul gejala di masyarakat dimana mereka merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia. Banyak yang merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna. Tidak sedikit yang menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik atau menganggap bahasa Indonesia tidak penting.
Bahasa Indonesia memang bukan bahasa ibu karena kita semua baru mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk sekolah. Bahasa ibu kita adalah bahasa informal daerah tempat kita dibesarkan. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia formal tetapi bahasa ibu, bahasa informal yang tidak memiliki aturan yang baku. Setiap orang bebas mencampur adukkan istilah. Dalam bahasa informal hal ini sah-sah saja.
Sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diglosik. Yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Terdapat perbedaan yang sangat tajam di masyarakat antara bahasa formal dengan bahasa informal. Kedua jenis bahasa tersebut digunakan pada situasi dan konteks yang juga berbeda.
Menurut peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas saat ini Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Sebuah kekayaaan yang tidak ternilai. Namun kekayaan bahasa yang kita miliki ini juga berpotensi menjadi sebuah kelemahan yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.
Di awal abad ke20 para pejuang kemerdekaan Indonesia sudah menyadari pentingnya kebutuhan satu bahasa nasional yang mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia jika negera ini ingin merdeka dari penjajahan Belanda. Dengan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda tersebut bersumpah satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sebagai bahasa yang dipilih menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang lahir karena suatu keputusan dan perencanaan. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia pun resmi menjadi bahasa nasional dalam arti yang sesungguhnya. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pemerintahan dan administrasi yang digunakan di dalam situasi formal seperti pidato, penulisan serta bahasa di media masa resmi seperti televisi, radio, koran dan majalah serta buku-buku. Bahasa formal juga bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta acara-acara resmi lainnya. Teks proklamasi kemerdekaan adalah dokumen resmi pemerintah pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dalam proses perkembangannya bahasa Indonesia berkembang menjadi tombak kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Sebuah proses yang menakjubkan dan dikagumi oleh banyak ahli bahasa di seluruh dunia. Bayangkan, rakyat suatu negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh puluh suku dengan bahasanya yang berbeda beda berhasil digiring untuk menerima satu bahasa di luar bahasa daerah mereka sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa nasional. Tanpa konflik dan tanpa perdebatan.
Sejak jaman sebelum kemerdekaan, berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa persatuan Indonesia telah dilakukan. Mulai dari perubahan ejaan, pengembangan peristilahan, penyusunan kamus besar bahasa Indonesia, hingga perumusan tata bahasa agar dicapai suatu bahasa yang standar yang dapat menjadi patokan seluruh jajaran masyarakat. Penelitian bahasa dan seminar serta kampanye penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat pers, media televisi dan sekolah-sekolah terus dilakukan.
Semua pihak, setiap bidang dan setiap profesi bahu membahu memelihara bahasa Indonesia. Simak saja lagu anak-anak ‘Naik Delman’ yang diciptakan pak Kasur sebelum pembukaan Ganefo tahun 1962.
Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota.
Naik delman istimewa kududuk di muka
Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak … suara sepatu kuda.
Bagi generasi yang lahir di tahun 50-an hingga 70-an, lagu ciptaan pak Kasur di atas adalah lagu yang sangat kental dengan masa kanak-kanak. Hingga kini, dimana sebagian besar sudah memasuki masa pensiun, lagu itu tidak pernah luntur dari ingatan. Perhatikanlah struktur dan tata bahasa serta kosa kata yang digunaan dalam syair lagu tersebut. Tanpa disadari sejak kecil generasi ini sudah diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar lewat lagu.
Di dalam pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada tahun 1972 almarhum Presiden Soeharto bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab nasional karena bahasa yang baik berkaitan erat dengan pembangunan bangsa. Himbauan ini diulang setiap tahun di dalam setiap pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara. Pemerintahan di era Suharto memang sangat gencar mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Media masa seperti televisi, radio, majalah dan koran diwajibkan menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Gedung – gedung dan perkantoran di Jakarta yang masih memakai nama yang berbau asing mendapat surat edaran keras dari pemerintah DKI Jaya agar segera membuang istilah yang tidak Indonesia itu. Dulu, seminggu sekali ada acara Pembinaan Bahasa Indonesia di televisi.
Kini keadaannya sudah berbeda. Jika kita mengitari pusat perbelanjaan atau deretan pertokoan Anda bisa lupa bahwa kita ada di Indonesia. Karena hampir tidak ada lagi gedung-gedung, toko-toko atau restoran-restoran yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama badan usahanya. Media cetak maupun eletronik semakin banyak yang berusaha meng-Inggris-kan rubrik-rubriknya. Semakin banyak pula perusahaan yang mulai beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat atau barang menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Era reformasi dan demokrasi seperti membebaskan semuanya. Tidak ada lagi anjuran penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan terjadinya pergeseran ranah penggunaan bahasa Indonesia oleh bahasa Inggris, bahasa informal pun mulai mendominasi media cetak dan eletronik. Pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa semakin langka.
Jadi, apakah yang terjadi dengan bahasa nasional kita? Kemana perginya bahasa Indonesia? Sudah begitu asingkah bahasa Indonesia di negeri sendiri? Betulkah bahwa bahasa Indonesia itu miskin kosa kata sehingga lebih mudah mengungkap sesuatu dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Padahal KBBI revisi ke-4 yang diluncurkan 2008 pada Kongres Bahasa Ke-9 pada 28 Oktober 2008 yang lalu memuat sekitar 100.000 lema (entry) atau bertambah 22.000 lema hasil serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Belum ada yang melakukan penelitian mengenai berapa persenkah rakyat Indonesia yang kini mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun seorang kawan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pernah menyatakan keprihatiannya ketika dia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membetulkan bahasa tulisan mahasiswa si pembuat skripsi daripada isi tulisan itu sendiri.
Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Pentingnya mempersatukan nusantara membuat Gajah Mada pernah bersumpah lewat Sumpah Palapa: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa“.
Sudah tidak ada lagikah kebanggaan kita pada bahasa Indonesia yang telah menyatukan kita semua? Sadarkah kita bahwa bahasa Indonesia juga adalah jati diri bangsa? Sudah lupakah kita pada Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda?
Kalau kita mau merenung sejenak, bahasa Indonesia itu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu melampaui kekuatan militer. Dengan bahasa Indonesia yang mahir bung Tomo mampu membakar semangat para pejuang nasionalisme pada tanggal 10 Nopember 1945. Bung Karno, yang menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik, mampu menyuarakan seruan hatinya dengan bahasa Indonesia lewat pidato-pidatonya yang membahana dan memukau. Amunisi kata-katanya begitu kaya dan dalam. Kemampuannya membangun struktur kalimat dalam setiap pidatonya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan tumbuhnya tunas semangat baru dalam hidupnya.
Di era pembangunan kita semua pun telah menjadi saksi bahwa bahasa mampu meredam gejolak ekonomi, mampu mengurangi sensitifitas sosial dan politik bahkan membalikkan sesuatu yang berkesan negatif menjadi positif.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak popular dapat kita hindari dengan menghaluskan ungkapan. Tentu kita semua masih ingat istilah “kenaikan harga” yang dihaluskan menjadi “penyesuaian harga” atau “gelandangan” yang memberikan konotasi merendahkan menjadi “tunawisma”. Padahal kita semua tahu bahwa harga barang tetap naik walaupun namanya diganti menjadi “penyesuaian harga”, dan seorang gelandangan tidak menjadi lebih kaya walaupun istilahnya diganti menjadi “tunawisma”. Mengapa pemerintah kini malah mengeluarkan kebijakan dalam bahasa Inggris seperti ‘sunset policy’?
Lihat saja Amerika. Dengan kemampuannya berbahasa negara adidaya tersebut mampu mengarahkan kepentingan politiknya. Kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya sehingga istilahnya berubah mejadi “violation of humanitarian law”. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Kesalahan tentara Amerika yang menembak kawan sendiri disebut “friendly fire” padahal yang sebenarnya terjadi adalah “negligent discharge”.
Bahasa Indonesia juga adalah bahasa yang mampu menjembatani jurang komunikasi antar suku yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda. Sarana utama yang mewujudkan dan memelihara Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah tidak perlu menterjemahkan setiap kebijakan menjadi bahasa daerah yang berlain-lainan. Para peneliti, wisatawan, politisi, pengusaha dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya tidak perlu mempelajari bahasa daerah jika mereka mengunjungi daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia.
Goenawan Mohamad pernah menulis, “Jika kita bepergian ke pelbagai pelosok Indonesia, satu hal menolong kita: bahasa Indonesia. Ini saya alami baru-baru ini. Seandainya saya di India, saya harus memakai sejumlah bahasa lokal. Seandainya saya di Amerika, saya harus mengerti bahasa Spanyol selain bahasa Inggris.”
Jika kita tidak ingin Bahasa Indonesia menjadi bahasa asing di negeri kita sendiri maka keberadaannya senantiasa harus dipelihara, perkembangannya harus dicermati. Pengubahsuaian kosa kata dan struktur bahasa asing yang terserap ke dalam penggunaan sehari hari harus terus dilakukan. Namun Lembaga Bahasa, para ahli bahasa dan pencinta bahasa tidak bisa bergerak sendirian dan tidak akan mampu berjuang sendirian. Memelihara bahasa nasional memerlukan keterlibatan dan keputusan pemerintah dan pemimpin negara.
Bahasa Indonesia adalah anugerah Tuhan yang pantang kita sia-siakan. Bahasa persatuan yang dirumuskan dengan teliti lewat perjuangan darah, keringat, dan nyawa delapan puluh satu tahun yang lalu adalah sebuah keajaiban yang mampu menyatukan bangsa tanpa kekuatan politik dan militer yang tidak mampu dilakukan oleh negara mana pun. Tengok saja Negara tetangga kita Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Melayu dan Tagalog tidak mampu mencapai status sebagai bahasa nasional seperti Bahasa Indonesia di Indonesia karena kuatnya pengaruh bahasa Inggris. Pada sensus tahun 2001, pemerintah India harus mencetak formulir ke dalam 17 bahasa lokal.
Layakkah jika sosok-sosok yang duduk di pemerintahan tidak mampu berbahasa Indonesia? Relakah kita jika kedudukan bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing seperti yang terjadi di Negara tetangga? Haruskah kita menunggu sampai UNESCO memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang diancam kepunahan? Pantaskah kita tersinggung jika suatu hari negara tetangga kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mereka jika kita sendiri tidak memeliharanya?
Mari kita kembalikan lagi semangat Sumpah Pemuda di antara kita sebelum anak cucu kita berkata dengan lafal dan aksen asing,”Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia … “.
Artikel ini dimuat di KOMPAS 22 Oktober 2009.
“Aunt Nina, I want to cut my hair, tapi mom bisa very very angry cause she likes my hair panjang”.
Terselipnya kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapan bahasa Indonesia di kalangan anak-anak kini bisa kita dengar dimana-mana. Hal ini bisa dipahami karena jumlah sekolah Internasional di Indonesia terutama di Jakarta kini semakin banyak. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan kurikulum dari luar negeri dan bahasa pengantar sehari-hari yang dipakai adalah bahasa asing. Dan sekolah-sekolah tersebut bukan lagi monopoli orang asing. Orang tua pun kini merasa bangga jika anak-anak mereka sudah mulai menyelipkan kata-kata bahasa Inggris di dalam percakapannya sejak dini.
Menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh anak-anak. Kalau kita menonton acara wawancara resmi, dialog atau perdebatan politik dan ekonomi di televisi jarang sekali kita temukan satu wawancara atau dialog dimana baik yang melakukan wawancara maupun yang diwawancarai menggunakan seratus persen bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka tampak kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya. Selalu saja ada kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing yang diselipkan di sela-sela bahasa Indonesia. Demikian juga jika kita membaca laporan wawancara di koran atau majalah. Selalu ada kata-kata yang ditulis miring dalam kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kata yang ducapkan tersebut merupakan ungkapan asing.
Apakah masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat dwibahasawan? Seperti di Belgia yang menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia? Atau di Montreal Kanada, dimana bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya.? Rasanya tidak tepat menyimpulkan demikian. Karena yang terjadi saat ini adalah situasi dimana banyak masyarakat yang berbahasa Inggris tidak, berbahasa Indonesia pun tidak.
Fenomena lain yang terjadi adalah kenyataan bahwa para lulusan luar negeri umumnya lebih fasih berbahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kini timbul gejala di masyarakat dimana mereka merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia. Banyak yang merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna. Tidak sedikit yang menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik atau menganggap bahasa Indonesia tidak penting.
Bahasa Indonesia memang bukan bahasa ibu karena kita semua baru mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk sekolah. Bahasa ibu kita adalah bahasa informal daerah tempat kita dibesarkan. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia tidak menggunakan bahasa Indonesia formal tetapi bahasa ibu, bahasa informal yang tidak memiliki aturan yang baku. Setiap orang bebas mencampur adukkan istilah. Dalam bahasa informal hal ini sah-sah saja.
Sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diglosik. Yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Terdapat perbedaan yang sangat tajam di masyarakat antara bahasa formal dengan bahasa informal. Kedua jenis bahasa tersebut digunakan pada situasi dan konteks yang juga berbeda.
Menurut peta bahasa yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas saat ini Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. Sebuah kekayaaan yang tidak ternilai. Namun kekayaan bahasa yang kita miliki ini juga berpotensi menjadi sebuah kelemahan yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.
Di awal abad ke20 para pejuang kemerdekaan Indonesia sudah menyadari pentingnya kebutuhan satu bahasa nasional yang mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia jika negera ini ingin merdeka dari penjajahan Belanda. Dengan Sumpah Pemuda, pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda tersebut bersumpah satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sebagai bahasa yang dipilih menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang lahir karena suatu keputusan dan perencanaan. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Bahasa Indonesia pun resmi menjadi bahasa nasional dalam arti yang sesungguhnya. Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pemerintahan dan administrasi yang digunakan di dalam situasi formal seperti pidato, penulisan serta bahasa di media masa resmi seperti televisi, radio, koran dan majalah serta buku-buku. Bahasa formal juga bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi di sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta acara-acara resmi lainnya. Teks proklamasi kemerdekaan adalah dokumen resmi pemerintah pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dalam proses perkembangannya bahasa Indonesia berkembang menjadi tombak kekuatan yang menyatukan bangsa Indonesia. Sebuah proses yang menakjubkan dan dikagumi oleh banyak ahli bahasa di seluruh dunia. Bayangkan, rakyat suatu negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh puluh suku dengan bahasanya yang berbeda beda berhasil digiring untuk menerima satu bahasa di luar bahasa daerah mereka sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa nasional. Tanpa konflik dan tanpa perdebatan.
Sejak jaman sebelum kemerdekaan, berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bahasa persatuan Indonesia telah dilakukan. Mulai dari perubahan ejaan, pengembangan peristilahan, penyusunan kamus besar bahasa Indonesia, hingga perumusan tata bahasa agar dicapai suatu bahasa yang standar yang dapat menjadi patokan seluruh jajaran masyarakat. Penelitian bahasa dan seminar serta kampanye penggunaaan bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat pers, media televisi dan sekolah-sekolah terus dilakukan.
Semua pihak, setiap bidang dan setiap profesi bahu membahu memelihara bahasa Indonesia. Simak saja lagu anak-anak ‘Naik Delman’ yang diciptakan pak Kasur sebelum pembukaan Ganefo tahun 1962.
Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota.
Naik delman istimewa kududuk di muka
Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk
Tuk tik tak tik tuk tik tak … suara sepatu kuda.
Bagi generasi yang lahir di tahun 50-an hingga 70-an, lagu ciptaan pak Kasur di atas adalah lagu yang sangat kental dengan masa kanak-kanak. Hingga kini, dimana sebagian besar sudah memasuki masa pensiun, lagu itu tidak pernah luntur dari ingatan. Perhatikanlah struktur dan tata bahasa serta kosa kata yang digunaan dalam syair lagu tersebut. Tanpa disadari sejak kecil generasi ini sudah diajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar lewat lagu.
Di dalam pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada tahun 1972 almarhum Presiden Soeharto bahkan dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab nasional karena bahasa yang baik berkaitan erat dengan pembangunan bangsa. Himbauan ini diulang setiap tahun di dalam setiap pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara. Pemerintahan di era Suharto memang sangat gencar mengampanyekan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Media masa seperti televisi, radio, majalah dan koran diwajibkan menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Gedung – gedung dan perkantoran di Jakarta yang masih memakai nama yang berbau asing mendapat surat edaran keras dari pemerintah DKI Jaya agar segera membuang istilah yang tidak Indonesia itu. Dulu, seminggu sekali ada acara Pembinaan Bahasa Indonesia di televisi.
Kini keadaannya sudah berbeda. Jika kita mengitari pusat perbelanjaan atau deretan pertokoan Anda bisa lupa bahwa kita ada di Indonesia. Karena hampir tidak ada lagi gedung-gedung, toko-toko atau restoran-restoran yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai nama badan usahanya. Media cetak maupun eletronik semakin banyak yang berusaha meng-Inggris-kan rubrik-rubriknya. Semakin banyak pula perusahaan yang mulai beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat atau barang menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Era reformasi dan demokrasi seperti membebaskan semuanya. Tidak ada lagi anjuran penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan terjadinya pergeseran ranah penggunaan bahasa Indonesia oleh bahasa Inggris, bahasa informal pun mulai mendominasi media cetak dan eletronik. Pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa semakin langka.
Jadi, apakah yang terjadi dengan bahasa nasional kita? Kemana perginya bahasa Indonesia? Sudah begitu asingkah bahasa Indonesia di negeri sendiri? Betulkah bahwa bahasa Indonesia itu miskin kosa kata sehingga lebih mudah mengungkap sesuatu dalam bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Padahal KBBI revisi ke-4 yang diluncurkan 2008 pada Kongres Bahasa Ke-9 pada 28 Oktober 2008 yang lalu memuat sekitar 100.000 lema (entry) atau bertambah 22.000 lema hasil serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Belum ada yang melakukan penelitian mengenai berapa persenkah rakyat Indonesia yang kini mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun seorang kawan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pernah menyatakan keprihatiannya ketika dia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membetulkan bahasa tulisan mahasiswa si pembuat skripsi daripada isi tulisan itu sendiri.
Indonesia sebagai sebuah kesatuan fisik, semangat dan jiwa bukanlah cita-cita yang terbentuk begitu saja. Pentingnya mempersatukan nusantara membuat Gajah Mada pernah bersumpah lewat Sumpah Palapa: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa“.
Sudah tidak ada lagikah kebanggaan kita pada bahasa Indonesia yang telah menyatukan kita semua? Sadarkah kita bahwa bahasa Indonesia juga adalah jati diri bangsa? Sudah lupakah kita pada Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda?
Kalau kita mau merenung sejenak, bahasa Indonesia itu memiliki kekuatan luar biasa yang mampu melampaui kekuatan militer. Dengan bahasa Indonesia yang mahir bung Tomo mampu membakar semangat para pejuang nasionalisme pada tanggal 10 Nopember 1945. Bung Karno, yang menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik, mampu menyuarakan seruan hatinya dengan bahasa Indonesia lewat pidato-pidatonya yang membahana dan memukau. Amunisi kata-katanya begitu kaya dan dalam. Kemampuannya membangun struktur kalimat dalam setiap pidatonya mampu membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan tumbuhnya tunas semangat baru dalam hidupnya.
Di era pembangunan kita semua pun telah menjadi saksi bahwa bahasa mampu meredam gejolak ekonomi, mampu mengurangi sensitifitas sosial dan politik bahkan membalikkan sesuatu yang berkesan negatif menjadi positif.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak popular dapat kita hindari dengan menghaluskan ungkapan. Tentu kita semua masih ingat istilah “kenaikan harga” yang dihaluskan menjadi “penyesuaian harga” atau “gelandangan” yang memberikan konotasi merendahkan menjadi “tunawisma”. Padahal kita semua tahu bahwa harga barang tetap naik walaupun namanya diganti menjadi “penyesuaian harga”, dan seorang gelandangan tidak menjadi lebih kaya walaupun istilahnya diganti menjadi “tunawisma”. Mengapa pemerintah kini malah mengeluarkan kebijakan dalam bahasa Inggris seperti ‘sunset policy’?
Lihat saja Amerika. Dengan kemampuannya berbahasa negara adidaya tersebut mampu mengarahkan kepentingan politiknya. Kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya sehingga istilahnya berubah mejadi “violation of humanitarian law”. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Kesalahan tentara Amerika yang menembak kawan sendiri disebut “friendly fire” padahal yang sebenarnya terjadi adalah “negligent discharge”.
Bahasa Indonesia juga adalah bahasa yang mampu menjembatani jurang komunikasi antar suku yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda. Sarana utama yang mewujudkan dan memelihara Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah tidak perlu menterjemahkan setiap kebijakan menjadi bahasa daerah yang berlain-lainan. Para peneliti, wisatawan, politisi, pengusaha dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya tidak perlu mempelajari bahasa daerah jika mereka mengunjungi daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia.
Goenawan Mohamad pernah menulis, “Jika kita bepergian ke pelbagai pelosok Indonesia, satu hal menolong kita: bahasa Indonesia. Ini saya alami baru-baru ini. Seandainya saya di India, saya harus memakai sejumlah bahasa lokal. Seandainya saya di Amerika, saya harus mengerti bahasa Spanyol selain bahasa Inggris.”
Jika kita tidak ingin Bahasa Indonesia menjadi bahasa asing di negeri kita sendiri maka keberadaannya senantiasa harus dipelihara, perkembangannya harus dicermati. Pengubahsuaian kosa kata dan struktur bahasa asing yang terserap ke dalam penggunaan sehari hari harus terus dilakukan. Namun Lembaga Bahasa, para ahli bahasa dan pencinta bahasa tidak bisa bergerak sendirian dan tidak akan mampu berjuang sendirian. Memelihara bahasa nasional memerlukan keterlibatan dan keputusan pemerintah dan pemimpin negara.
Bahasa Indonesia adalah anugerah Tuhan yang pantang kita sia-siakan. Bahasa persatuan yang dirumuskan dengan teliti lewat perjuangan darah, keringat, dan nyawa delapan puluh satu tahun yang lalu adalah sebuah keajaiban yang mampu menyatukan bangsa tanpa kekuatan politik dan militer yang tidak mampu dilakukan oleh negara mana pun. Tengok saja Negara tetangga kita Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Melayu dan Tagalog tidak mampu mencapai status sebagai bahasa nasional seperti Bahasa Indonesia di Indonesia karena kuatnya pengaruh bahasa Inggris. Pada sensus tahun 2001, pemerintah India harus mencetak formulir ke dalam 17 bahasa lokal.
Layakkah jika sosok-sosok yang duduk di pemerintahan tidak mampu berbahasa Indonesia? Relakah kita jika kedudukan bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing seperti yang terjadi di Negara tetangga? Haruskah kita menunggu sampai UNESCO memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang diancam kepunahan? Pantaskah kita tersinggung jika suatu hari negara tetangga kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mereka jika kita sendiri tidak memeliharanya?
Mari kita kembalikan lagi semangat Sumpah Pemuda di antara kita sebelum anak cucu kita berkata dengan lafal dan aksen asing,”Maaf, saya agak sulit bicara bahasa Indonesia … “.
Artikel ini dimuat di KOMPAS 22 Oktober 2009.